Sisi Lain Sebuah Wibawa ( Cerpen )
Kakiku
masih berdiri, jantungku berdegup lebih cepat. Matanya masih memandang sinis
kami, kerudung panjang yang ia kenakan tak menimbulkan sebuah kesan ketenangan
pada kami, apakah ini sebuah wibawa yang seharusnya. Teringat olehku kejadian
setahun yang lalu, ketika lapangan berubah menjadi dingin. Semua mata tertuju
pada kelas sepuluh itu, pada tangan pemain itu. Aku sangat mengenal lelaki itu,
ia anak kelasku, pemain futsal yang sipit, Ary namanya. Hari itu tak seperti
biasanya, ia melotot memandang suporter kelas XI IPA 1. Bola futsal sudah tidak
diperebutkan.
“Ary!” Teriakku.
“Lia, jangan masuk ke
lapangan, tugas kita menjaga kericuhan di luar!” Ifa memegang lenganku.
“Kalo Ary dibiarin dia
bisa ngamuk kayak di kelas!” Aku meyakinkannya.
“Kalo mau bantu, bantu
OSIS di daerah suporter kelas XI IPA 1. Aku yang jaga suporter kelas kita.”
“Bukan suporter yang
harus ditenangin, tapi Ary!” Tegasku.
“Percaya sama kiki,
tugas kita di luar!” Ifa tersenyum.
“Aku
percaya kiki!”
Aku
berlari sekuat tenaga mengitari lapangan, berusaha secepat mungkin sampai di
daerah suporter kelas XI IPA 1 yang mulai rusuh. Rok panjangku sedikit
terangkat dan kerudungku bergoyang. Dari sebrang lapangan aku dapat melihat Ifa
dengan rambut panjangnya, ia sedang menenangkan suporter kelasku. Sekarang
lapangan terasa sangan panas, di bawah terik matahari, suara ejekan yang
bersautan, pemain yang sudah saling mengepalkan tangan. Aku sudah memiliki
firasat bahwa semifinal classmeeting ini
tak akan berjalan lancar.
“PRIIIIIIT,
PERTANDINGAN SELESAI” kiki berteriak dengan badannya yang sedikit gemuk.
“Kiki, waktunya belum
habis, kalo mereka tambah marah gimana?” Hanif yang tinggi berbisik kepada Kiki
“Sekarang kita
berhentiiin mereka dulu, itu dipikir nanti aja” Kiki berlari memasuki lapangan.
“De, kita tau kelas
kalian jago futsal tapi sportif
dong!” Kak Nadia berjalan mendekati Lia, rambut sebahunya sedikit bergoyang
karna ia berjalan dengan cepat.
“Iya kak, tapi tolong
jaga suporter kakak agar tetap tenang” Lia berusaha menenangkan.
“Tenang? Dia nge-fuck-in kita de?!” Suaranya menninggi.
“Kak
tolong inget kakak itu ketua OSIS” Lia menegaskan.
Esok
harinya, aku sangat tidak ingin pergi ke sekolah. Hari ini adalah final dan
kelasku tidak bertanding, tak ada alasan untuk masuk sekolah. Namun hari itu
seluruh anak X IPA 2 berkumpul di rumah Ani karna kejadian itu. Rumah dengan
empat kamar ini terasa sesak, bahkan sesaknya sampai ke relung hati.
“Anak OSIS kelas kita
pada kemana? Masa aku doang yang masuk, kita dilabrak tau” Ifa berwajah kesal.
“Kalo ngak ada gue
kicep semua tuh” Ketus Fauzan yang duduk di depan pintu dengan tegap.
“Kelas kita yang masuk
Cuma berlima dan tetep di labrak” lanjut Ifa yang meluruskan kakinya di lantai.
“Ngak nyangka Fauzan
belain kita, kalian diapain aja sama kak Nadia?” Tanya Lia.
“Gue
Cuma ngak suka sama OSIS, gue juga ngak suka kelas kita dilabrak gitu. Ifa
ceritain gih, lu kan yang paling dilabrak sama Nadia and the genk.” Lanjut Fauzan dengan nada kesal.
Walau
posisi duduk anak kelas kami tak beraturan di lantai, namun mata kami memandang
satu, ke arah Ifa. Ia bercerita tentang kejadian pagi tadi di sekolah. Mereka dipanggil ke aula, duduk di depan
sekitar 30 anak OSIS kelas X dan 30 anak kelas XI IPA 1. Mereka dibacakan pelanggaran yang telah
dilakukan kemarin. Ifa sebagai satu-satunya anak OSIS di sana tidak
diperbolehkan bicara dan mendapat labrakan lebih keras, ia dituntut untuk adil
dan membela kepentingan sekolah. Namun satu hal yang tak bisa kuterima hingga
saat ini, Kak Nadia dan kelasnya menyuruh OSIS membela kepentingan sekolah,
tapi kenapa dia lebih memilih kepentingan kelasnya. Mereka bilang keributan
terjadi karna seorang pemain mengarahkan simbol fuck ke arah suporter XI IPA 1, Fauzan membela bahwa mereka melihat
simbol tersebut lebih dulu dari suporter kelas tersebut. Mereka bilang kami
adalah ade kelas yang tidak sopan dengan kakak kelas khususnnya anak OSISnya
yaitu Ani di socmed, Fauzan membela
bahwa Ani sedang mempunyai masalah tersendiri, dan kelas kami hanya membalas
kicauan dari kelas mereka. Mereka bilang OSIS kami sok ngatur kelas mereka,
Fauzan membela hal tersebut dikarnakan kelas mereka lah yang tidak bisa tenang.
Hal terakhir yang tak bisa aku terima adalah perkataan ketua MPK yang aku
anggap sangat berwibawa, Kak Sulis. ‘Nad, udah dibelain juga, jangan diem aja,
inikan malasah kelas kamu’. Aku selalu menganggap
Kak Sulis adalah orang paling berwibawa dan selalu hebat dalam memberi nasihat
kepada orang lain, namun anggapan ku salah. Seperti pada kejadian di hari itu,
saat kami sudah menginjakan kaki di kelas XI. Seperti biasa kami mengadakan
rapat OSIS setelah pulang sekolah.
“Idih buat apa coba,
tugas 1000 nama” Kesal Lia setelah rapat usai.
“Ada-ada aja ya tugasnya
nulis semua nama anak di sini dan alumninya sampai 1000 terus diurutin dari A-Z
harus tulis tangan, ngak boleh liat socmed,
ngak boleh liat absen” Ifa melanjutkan sembari merapihkan kursi.
“Kita ngerjain ramean
aja, ngak ada aturan yang ngelarang itu kan” sahut kiki yang merapikan meja.
“Kalo ketauan gimana?
Nanti kita bisa dilabrak kayak kelasnya Lia, Ifa dan Ani loh” Hanif
mengingatkan.
“Boleh tuh dari pada
pusing sendirian” sahut Lia.
“Nanti kita bagi tugas
ada yang ngumpulin nama, terus ada yang ngetik dan ngurutin pake excel, nanti
tinggal kirim e-mail jadi punya semua
tinggal salin” seru Kiki.
“Gue pribadi sih ngak
setuju, tapi kalo banyak yang setuju gue ikut.” Tegas Hanif.
“Semuanya, kita voting
ya. Siapa yang setuju dengan idenya Kiki angkat tangan” Lia berteriak
“Setujuuuuu”
hampir semua anak OSIS mengangkat tangan.
Mungkin
kalau aku pikir kembali kata-kata Hanif, aku tak akan menyesali hari dimana
ketua kami terlihat sangat berwibawa. Pada hari itu kami berdiri berhadapan
satu sama lain di dalam kelas. Ide Kiki ketahuan dan semua kakak OSIS marah
kepada kami. Kertas folio yang berisikan 1000 nama dengan tulisan tangan
disobek, di lempar bahkan diinjak di depan mata kami.
“De, saya tau kalian
itu solid. Tapi tolong kalian jangan gunakan itu dalam keburukan juga!” Seru Kak
Nadia.
“Kalian tau apa fungsi
tugas 1000 nama?” Kak Sulis berteriak.
“Buat balas dendam ke
ade kelas” Ketus Kiki keras.
“Maaf kak, saya tarik
kata-kata kiki, kakak pasti tau tujuannya.” Hanif berteriak, Kiki memandang
sinis ke arah Hanif.
“Fungsi 1000 nama itu
untuk ajang kalian berkampanye, agar seluruh warga sekolah bahkan alumni kenal
siapa calon ketua OSIS selanjutnya.” Tegas Kak Sulis
“Kalian
kalau menghadapi masalah jangan sembrono, kalian harus lihat semua kemungkinnan
yang akan terjadi dari berbagai sudut pandang, organisasi ini tidak akan maju
apabila kalian masih sembrono.” Lanjut Kak Nadia.
Mereka terlihat begitu berwibawa
saat itu, ya hari itu. Kejadian hari ini mengingatkanku pada kata-kata Fauzan
seminggu yang lalu. Hari itu kami anggota OSIS telah sampai pada pemilihan 5
besar ketua OSIS. Kami diberikan waktu untuk berkampanye selama seminggu, pagi itu
kami menempel pamflet yang berupa kertas HVS dengan foto dan visi-misi kami
sebagai ketua OSIS di setiap jendela kelas. Namun, selang beberapa menit,
pamflet kami sudah di corat coret, di robek, bahkan di buang oleh para anak
yang membenci OSIS.
“Calon
ketos apaan nih, 5 besar isinya 3 cewe 2 cowo” Fauzan merobek pamfletku.
“Fauzan,
kamu boleh ngak suka sama OSIS, tapi tolong hargain usaha kita memajukan
sekolah!” Tegas Lia.
“Lu
pikir sekolah bisa maju kalo ketosnya cewe?
NGAK!” Fauzan melempar pamflet tersebut ke tempat sampah.
“Apasalahnya
kalo ketua OSISnya cewe, Kak Nadia bisa memajukan sekolah kok!” Tegas Lia.
“Maju?
Lu calon ketos ngak bisa bedain mana maju mana mundur? Nadia tuh ngambil
keputusan berdasarkan perasaanya doang, realitanya ngak dipentingin. Sulis juga
ketua MPK Cuma jadi profokator OSIS sesuai dengan apa yang dia rasain. Kenapa
mereka gitu? Karna mereka tuh cewe. Pemimpin itu dimana-mana harus cowo!”
Fauzan memukul tembok kelas.
“Kalo
kamu bisa jadi ketua yang lebih baik kenapa ngak masuk OSIS dari dulu” Lia
melembutkan suaranya karna gemetar.
“Masuk OSIS yang ketuanya cewe? Sorry aja” Fauzan berlalu.
Suara pintu aula yang terbuka
membuyarkan lamunanku, Kak Nadia memasuki aula. Kak Sulis tersenyum kepadanya
seakan memberikan kode untuk memulai lalu kembali memperhatikan kami dengan
sinis. Ingin rasanya aku menarik kerudung panjangnya ke depan agar menutupi
matanya yang menakutkan. Namun, aku dan lima besar osis lainnya tetap berdiri
di depan aula. Seluruh OSIS kelas XI dan XII duduk di kursi lipat hitam di
depan kami. Kak Nadia berjalan ketengah dengan memegang selembar kertas.
“Assalamu’alaikum
wr.wb. Selamat siang. Saya Nadia sebagai ketua OSIS akan mengumumkan hasil
voting seluruh sekolah yang menentukan ketua OSIS berikutnya. Hasil voting ini
telah disahkan oleh Sulis selaku ketua MPK. Pertama Penasihat umum dipegang
oleh...”
“Sulis?! Serius?!” Kak Nadia kaget dengan apa yang ia
baca.
“Ini
hasil voting seluruh sekolah, sebenarnya aku juga kurang setuju” Balas kak Sulis.
“Idih apaan nih, penasihat
umumnya orang yang ngak tau sopan santun, penasihat umum apanya kalo menghargai
kakak kelas aja ngak bisa!” Kak Nadia berteriak kesal.
Kak Nadia menyerahkan kertas
tersebut kepada Kak Sulis dengan sedikit kasar, ia berjalan keluar aula dan
membanting pintu aula dengan kencang. Kak Sulis meneruskan pengumuman itu. Aku
sedikit terkejut dengan hasil voting ini. Hanif sebagai ketua, Aku sebagai
wakil, Kiki sebagai sekertaris, dan penasihat umumnya adalah Ani. Seharusnya
ini adalah pengumuman yang membahagiakan untuk kami. Namun, tak ada yang
mengucap selamat, yang kami dapatkan hanyalah tatapan sinis dari para OSIS
kelas XII.
“Hasil
voting ini menurut saya bukan berasal dari kemampuan, namun berdasarkan eksis. Ketuanya kebanyakan mikir, ngak
bisa ngambil keputusan. Wakilnya sok mimpin, tapi gk bisa ngurus kelasnya.
Sekertarisnya sembrono. Apalagi peenasihat umumnya yang paling ngak tau sopan
santun dengan kakak kelas. Ancur aja OSIS kalian.” Kak Sulis berjalan ke arah
pintu aula.
“Kak,
Maaf tolong jangan bawa masalah satu tahun yang lalu” Ifa berdiri dari
kursinya.
“De,
kamu itu anak MPK, tugas MPK adalah pengurus internal OSIS. Kamu seharusnya
menuruti keputusan saya sebagai ketua.” Ketus Kak Sulis.
“Kak,
seorang MPK berhak menyuarakan pendapatnya untuk memajukan OSIS.” Jawab Ifa.
“Maaf
kak, tapi saya juga tidak setuju dengan kata ‘ngak bisa ngurus kelasnya’” Lia
berteriak tegas.
“Apa
yang kamu ngak setuju dek? ” Kak Nadia memasuki aula dengan wajah kesal.
“Kak,
mungkin saya pribadi memang masih memiliki banyak kekurangan, tapi OSIS
berjalan bukan karena ketua saja, di sini kami bersama akan saling melengkapi
sehingga OSIS dapat menjadi organisasi yang baik dan memajukan sekolah.” Tegas
Hanif dengan penuh wibawa.
“Jujur
ya dek, saya ngak ikhlas ngasih jabatan ini ke kamu” Ketus Kak Nadia dengan
wajah sinis.
“Maaf
kak, tolong ingat apa jabatan kakak di sini. Kakak di sini adalah ketua OSIS
juga sebagai kaka kelas, kakak harus mencontokan hal yang baik kepada kami
termasuk berbicara dengan kata-kata yang baik karena perkataan kakak adalah
sebuah keputusan OSIS. Kakak sebagai perempuan jangan mengambil sebuah
keputusan hanya berdasarkan perasaan kakak. Apabila Hanif menjadi ketua
berdasarkan voting itulah jalan yang terbaik.” Ifa berbicara dengan wibawa yang
memecah keheningan.
“Siapa yang
menerima keputusan ini dan siap mengikutinya angkat tangan” Lia berteriak dan
mengangkat tangannya.
Seluruh OSIS angkatanku menangkat
tangannya. Rapat pengumuman ketua OSISpun ditutup dengan hasil tersebut. Kami
berbaikan dengan kakak kelas, namun masih terasa kesenggangan di antara kami
belum berakhir. Aku menyadari satu hal di sini, wibawa adalah sebuah hal yang
harus dimiliki setiap ketua. Namun, wibawa tersebut memiliki sisi lain yaitu
engkau akan dituruti bawahanmu karena takutnya mereka atau engkau akan dituruti
bawahanmu karena kepercayaannya padamu. Aku percaya kami akan menjadi lebih
baik karena wibawa ketua kami berasal dari kepercayaan kami sebagai anggotanya.
Comments
Post a Comment