Lebaran dan Pilpres
Matahari yang masih malu-malu menyapa, membuat pagi itu terasa sangat tentram. Hari itu, kami sekeluarga tidak sholat di tanah lapang, melainkan di jalanan terminal yang belum lama dibuka dekat rumah kami.
Takbir berkumandang, rasanya sedikit sesak, seperti ada yang hilang.
Usai sholat berdirilah seorang ustad di atas podium, menyampaikan sebuah pembukaan ceramah yang cukup berbeda. Membawa sebuah penyesalan untukku.
Andai tadi pagi membawa kacamata, gumanku. "Ustadnya orang sini bukan?" Tanya seorang ibu yang membawa balita cantik disampingku.
Aku yang hanya dapat melihat buram tertawa kecil, meminta maaf karna tidak terlihat siapa ustad yang berdiri disana. Seorang ibu berkacamata disebelahku mengatakan ustad itu mantan ketua kpk. "Kayanya, ustadnya pendukung paslon sebelah ya, ceramahnya gitu, seharusnya kitamah ga usah di kasih tau yang ribet-ribet" bisik si ibu sambil masih memegangi balitanya yang hiperaktif.
Aku tertawa lagi, berbeda dengan tadi, sejujurnya aku binggung ekspresi apa yang harus ku keluarkan. Bis besar antar provinsi masih berlalu lalang di jalur yang tidak kami gunakan shalat. Aku menarik nafas panjang. "Untung yang lain pada ngobrol sendiri ya" lanjut si ibu yang mulai cemas karna balitanya mulai melakukan roll depan di atas sejadah
Gemas, hanya itu yang bisa kurasakan. Sepertinya umur anak itu baru tiga tahun, caranya berbicara dan bertingkah sangat lucu. Gemas yang berbeda juga kurasakan pada ibu satu ini. "Yaa kita mah ambil yang baik-baik aja ya buu" aku tertawa kecil lagi, sembari mencubit pipi anak itu yang cukup tembem.
Nafas panjang kembali kukeluarkan, walau panjangnya tidak sepanjang jalan terminal baru ini yang telah menggunduli hutan pinus dikotaku. Ustad tersebut masih semangat menyampaikan pidatonya dan ibu tadi sudah acuh tak acuh.
Pendidikan anak usia dini berbasis agama adalah jawaban untuk mengakhiri krisis sdm di negeri ini, tegas pak ustad
Mengimbangi ilmu tinggi dengan akhaq beragama sangat penting, tegasnya lagi. Lalu beliau menyampaikan data-data kondisi keluarga di Indonesia, jumlah janda, jumlah perceraian, jumlah gugatan cerai di pengadilan agama.
Lalu dengan kondisi keluarga yang seperti itu, sang ustad menyajikan data anggota pemerintahan yang melakukan korupsi beserta gelar pendidikan tinggi yang sudah di raih sang koruptor. Pendidikan anak usia dini berbasis agama itu penting, tegasnya kembali.
Lampu jalan yang berbentuk unik memperhatikan kami dengan khidmat di atas sana, sedangkan sang ibu muda menyibukkan dirinya dengan 'celingak celinguk' dan melambaikan tangan ke arah anaknya yang lain di shaff pria.
Semua orang memang bisa salah, namun bukan berarti yang disampaikannya semuanya salah. Tidak semua orang menyukai politik, aku juga tak suka. Namun bukan berarti kita tidak mau mendengarkan kata-kata orang karna perbedaan kubu saat pilpres. Hampir semua keluarga yang kutemui saat berkeliling lebaran memiliki cerita sama, keluarganya terpecah karna pilpres, bahkan sampai enggan untuk berkunjung dan meminta maaf.
Hey... sepertinya memang ada yang hilang di lebaran tahun ini?
Takbir berkumandang, rasanya sedikit sesak, seperti ada yang hilang.
Usai sholat berdirilah seorang ustad di atas podium, menyampaikan sebuah pembukaan ceramah yang cukup berbeda. Membawa sebuah penyesalan untukku.
Andai tadi pagi membawa kacamata, gumanku. "Ustadnya orang sini bukan?" Tanya seorang ibu yang membawa balita cantik disampingku.
Aku yang hanya dapat melihat buram tertawa kecil, meminta maaf karna tidak terlihat siapa ustad yang berdiri disana. Seorang ibu berkacamata disebelahku mengatakan ustad itu mantan ketua kpk. "Kayanya, ustadnya pendukung paslon sebelah ya, ceramahnya gitu, seharusnya kitamah ga usah di kasih tau yang ribet-ribet" bisik si ibu sambil masih memegangi balitanya yang hiperaktif.
Aku tertawa lagi, berbeda dengan tadi, sejujurnya aku binggung ekspresi apa yang harus ku keluarkan. Bis besar antar provinsi masih berlalu lalang di jalur yang tidak kami gunakan shalat. Aku menarik nafas panjang. "Untung yang lain pada ngobrol sendiri ya" lanjut si ibu yang mulai cemas karna balitanya mulai melakukan roll depan di atas sejadah
Gemas, hanya itu yang bisa kurasakan. Sepertinya umur anak itu baru tiga tahun, caranya berbicara dan bertingkah sangat lucu. Gemas yang berbeda juga kurasakan pada ibu satu ini. "Yaa kita mah ambil yang baik-baik aja ya buu" aku tertawa kecil lagi, sembari mencubit pipi anak itu yang cukup tembem.
Nafas panjang kembali kukeluarkan, walau panjangnya tidak sepanjang jalan terminal baru ini yang telah menggunduli hutan pinus dikotaku. Ustad tersebut masih semangat menyampaikan pidatonya dan ibu tadi sudah acuh tak acuh.
Pendidikan anak usia dini berbasis agama adalah jawaban untuk mengakhiri krisis sdm di negeri ini, tegas pak ustad
Mengimbangi ilmu tinggi dengan akhaq beragama sangat penting, tegasnya lagi. Lalu beliau menyampaikan data-data kondisi keluarga di Indonesia, jumlah janda, jumlah perceraian, jumlah gugatan cerai di pengadilan agama.
Lalu dengan kondisi keluarga yang seperti itu, sang ustad menyajikan data anggota pemerintahan yang melakukan korupsi beserta gelar pendidikan tinggi yang sudah di raih sang koruptor. Pendidikan anak usia dini berbasis agama itu penting, tegasnya kembali.
Lampu jalan yang berbentuk unik memperhatikan kami dengan khidmat di atas sana, sedangkan sang ibu muda menyibukkan dirinya dengan 'celingak celinguk' dan melambaikan tangan ke arah anaknya yang lain di shaff pria.
Semua orang memang bisa salah, namun bukan berarti yang disampaikannya semuanya salah. Tidak semua orang menyukai politik, aku juga tak suka. Namun bukan berarti kita tidak mau mendengarkan kata-kata orang karna perbedaan kubu saat pilpres. Hampir semua keluarga yang kutemui saat berkeliling lebaran memiliki cerita sama, keluarganya terpecah karna pilpres, bahkan sampai enggan untuk berkunjung dan meminta maaf.
Hey... sepertinya memang ada yang hilang di lebaran tahun ini?
Comments
Post a Comment